Oleh:
Bentar Saputro
Seingat saya waktu itu masih duduk di bangku SMP hingga
SMA. Ada hal yang sangat menarik dan membuat saya sangat gembira untuk menunggu
saat-saat itu. Bruwun. Kata ini
mungkin terdengar aneh dan sangat jarang ditemukan dalam obrolan-obrolan di
warung, kampus, kantor apalagi di kalangan obrolan gaul anak muda jaman
sekarang. Bruwun berasal dari kata
Jawa, yang artinya memetik, memanen atau mengunduh. Kemungkinan besar kata
‘bruwun’ hanya akan sering terdengar di desa-desa atau bahkan di kampung-kampung
pegunungan.
Sejak kecil saya tidak asing dengan kata bruwun. Tanpa disadari dalam
keseharianpun saya mempraktekkan langsung aktifitas yang disebut bruwun tadi. Pasalnya, pada musim-musim
tertentu (biasanya musim sehabis menanam/’tandur’ padi). Selang beberapa minggu
selepas proses menanan padi selesai, biasanya terdapat galengan di sawah. Galengan
adalah batasan petak di sawah yang sering dijadikan untuk lewat/melintasi dari
tempat satu ke tempat lainnya. Nah, galengan
tersebut dijadikan untuk tandur/menanam
kecipir. Tentunya yang namanya kecipir tidak kemudian langsung ditanam melalui
kecipir itu sendiri. Hal ini yang menjadi pertanyaan besar saya mengenai awal
mula bagaimana kecipir itu ditanam. Dari mana benihnya? Setahu saya memang
sebelum kecipir lahir layaknya kecipir, benihnya berasal dari “botor”. Lebih dulu
mana kecipir atau botor? Tapi tak
usahlah kita memperdebatkan itu. Mari kita salami saja nikmat Tuhan ini dengan
segala misteriNya.
Botor ini berasal dari kecipir
yang umurnya paling tua, sehingga dibiarkan mengering hingga kulit luarnya
berwarna hitam yang di dalamnya terdapat biji kecipir berwarna coklat.
Begitulah kurang lebih perjalanan si kecipir hingga menjadi botor. Atau sebaliknya, si botor yang menjadi kecipir. Mana yang
lebih dulu antara kecipir dan botor?
Entahlah, ini mirip dengan kisah antara ayam dan telur.
Pemandangan yang indah dan sejuk menyelimuti proses
penanaman kecipir di sawah. Kala itu saya sedang menemani nenek sekaligus
membantu nandur kecipir tersebut.
Kami melakukan semacam kerjasama dalam hal ini. Saya dan nenek berbagi tugas. Tugas
yang pertama adalah manja, sementara
tugas yang kedua adalah muwur. Pasti tugas
tersebut akan sangat terdengar asing oleh siapapun yang belum pernah
mendengarnya. Baik, akan saya jelaskan tugas-tugas tersebut sepemahaman saya. Pertama
adalah tugas manja. Ini bukan soal
seseorang yang sedang kolokan bagai anak minta dimandiin oleh ibunya setiap
pagi. Manja berasal dari kata panja, yakni sepotong kayu (kayu apapun
saja) sepanjang ± 1,5 meter yang ujungnya dibuat runcing yang berfungsi untuk
melubangi tanah pada saat nanti masuk pada proses muwur. Manja merupakan
kata kerja (orang/pelaku yang melakukan kegiatan menggunakan alat bernama panja), sedangkan panja adalah kata
benda (alat itu sendiri). Kemudian tugas berikutnya adalah muwur merupakan proses penyebaran benih yang dilakukan dengan
memasukkan benih ke dalam tanah berlubang yang sudah dipanja terlebih dahulu. Benih yang dimasukkan ke dalam tanah tidak asal
comot, namun ada batasan minimal
jumlah butir benih yang dimasukkan. Benih dimaksud adalah botor. Setiap lubang yang di galengan
memiliki jumlah minimal 3 – 5 butir/biji. Galengan
merupakan batas petak atau semacam jalan yang berada di tengah-tengah sawah (sudah saya singguh di awal tulisan).
Kedua tugas tersebut kami kerjakan dengan sangat teliti
dan penuh dengan kahati-hatian. Kami sepakat untuk berbagi tugas, manja dipegang langsung oleh nenek saya
sedangkan saya didapuk untuk mengerjakan tugas muwur. Setiap tugas memiliki
peran dan caranya sendiri. Proses menanan benih kecipir harus segera dikerjakan
sebelum galengan benar-benar kering
dan mengeras tanahnya. Ini dimaksudkan supaya pada saat proses manja, tidak diperlukan tenaga yang
ekstra untuk mengerjakannya. Apabila tanah pada galengan tersebut sudah mulai mengering dan keras maka akan
menyulitkan proses manja tadi. Dalam pengerjaannya proses manja dilakukan dengan cara berdiri dan menghantam-hantamkan
panja ke tanah (galengan) hingga
membentuk sebuah lubang yang nantinya akan ditaburi biji botor atau benih kecipir yang sudah disiapkan sebelumnya. Lubang
yang dipanja tersebut diberi jarak kurang lebih 5 sampai 7 centimeter. Ini dimaksudkan agar jaraknya tidak terlalu rapat,
mengingat kecipir ini merupakan jenis tumbuhan yang merambat. Hal ini dilakukan
terus-menerus dengan cara melubangi tanah menggunakan panja dari pangkal galengan
hingga ke ujung galengan. Itulah gambaran
tugas nenek saya pada saat proses me-manja.
Sementara itu, tugas saya adalah melakukan muwur,
semacam menabur benih. Muwur ini
dilakukan dengan cara menunduk dan biasanya mengikuti atau berada tepat di
belakang yang sedang manja tadi yakni
nenek saya. Mengapa tepat berada di belakang? Karena dimaksudkan supaya proses
pengerjaannya berbarengan dengan proses me-manja.
Apabila sampai tertinggal dengan yang me-manja,
ini akan menjadi tugas berat pe-muwur
untuk melakukan proses check and recheck
mana saja lubang yang sudah ditaburi benih dan mana saja yang belum ditaburi
benih. Tugas pe-muwur memiliki tugas
ganda, antara lain (1) melakukan proses muwur
itu sendiri (2) mengubur atau menutupi benih tadi dengan tanah yang ada
disekitar lubang tersebut. Ini bertujuan untuk menutupi benih-benih yang sudah
ditabur supaya tidak dimakan tikus, ayam dan sekutunya atau apapun saja yang
biasa ‘menjarah’ area sawah.
Kami melakukan kerjasama dengan sungguh-sungguh yang
berkonsentrasi pada tugas dan perannya masing-masing. Setelah kami selesai
dengan tugas dan peran yang sudah dimandatkan, pada akhirnya sayapun lega
karena dapat menuntaskan pekerjaan yang saya yakin tidak semua anak muda ‘mau’
melakukannya. Untuk yang baru saja saya sebutkan dengan tanda petik, saya
tidak akan menjelaskan lebih detil alasan ke-mengapa-annya.
Proses menabur benih kecipir sudah selesai dan masih ada
pekerjaan berikutnya untuk tahap paling pamungkas. Pekerjaan yang dimaksud
adalah nglanjari. Lagi-lagi istilah
yang saya gunakan ini adalah istilah-istilah yang sangat lokal bahkan mungkin ndeso, saya yakin ada istilah lain
yang digunakan namun dengan maksud dan pemaknaan yang sama. Istilah nglanjari berasal dari kata lanjaran, yaitu sebuah potongan bambu
berukuran ±1,5 cm yang sudah dibelah menjadi beberapa lapis untuk kemudian diruncingkan
pada bagian ujungnya. Hampir sama dengan bentuk panja, hanya saja ukuran lanjaran
lebih kecil dan terbuat dari bambu sedangkan panja terbuat dari kayu yang agak besar.
Lanjaran ini bertujuan untuk menopang
tanaman kecipir yang sudah mulai menampakkan pertumbuhannya. Lanjaran merupakan noun, sedangkan nglanjari
adalah verb-nya. Yang perlu diingat
adalah proses nglanjari dilakukan
sekitar 1 minggu setelah tanaman kecipir mulai merambat.
Setelah kami, manusia sudah melakukan tugas dan
kewajibannya hal yang dilakukan berikutnya adalah berserah dan seraya memohon
kepada Tuhan. Maksud saya adalah setelah manusia sudah berusaha nandur, maka manusia sama sekali tidak memiliki
kemungkinan untuk mengatur laju pertumbuhan tanaman yang sudah ditanam tadi. Mati
atau hidup, tumbuh atau tidak tumbuh, subur atau tidak subur, dan seterusnya. Kita
tidak memiliki kemungkinan untuk mengatur itu semua. Pasti akan ada campur tangan Tuhan yang secara langsung terlibat
untuk mengatur laju pertumbuhan kecipir tadi. Apabila Tuhan sudah turun tangan
maka giliran kecipir ini yang akan menjalankan tugasnya sesuai dengan perintah
Tuhan. Setelah apa yang dilakukan manusia sebagai wujud usaha, ikhtiar dan
upaya menanam dengan sungguh-sungguh maka Tuhan akan menaburkan cinta-Nya pada
manusia dan kecipir.
Singkat cerita, tanaman kecipirpun tumbuh dengan subur
dan mengeluarkan hasil yang nyata. Akhirnya kami menyambutnya dengan gegap gempita
menyambut kehadiran kecipir yang nampak hijau muda nan menggoda untuk segera
dipanen (baca: bruwun). Kurang
lebih itulah pengalaman saya bersama dengan kecipir. Sungguh saya sangat senang
melakukannya, bersamaan dengan liburan sekolah maupun tidak liburanpun saya
mengalaminya secara langsung. Saya yakin pengalaman seperti ini tidak akan
dijumpai pada setiap anak seusia saya waktu itu. Jangankan anak-anak yang
tinggal di pelosok-pelosok perkotaan yang nota-bene nya jarang ditemukan sawah,
anak-anak yang tinggal di pusat pedesaaan atau pegununganpun belum tentu memiliki
pengalaman yang sudah saya jlentrehkan
di atas. Namun itu semua bukan berarti mereka yang tidak pernah mengalami hal
yang saya alami lantas kemudian tidak suka atau gengsi bahkan malu melakukannya,
hanya saja mereka belum pernah merasakan nikmatnya itu semua. Yang harus dilakukan
adalah terjun langsung dan sama-sama ‘mengalami’.
Semarang, 6 Januari 2015
Source: http://bit.ly/1wgeQjp
2 comments:
Write commentsGaleri Antik Indonesia, klasik menarik apik dan cantik juga asyik menggelitik. Cocok untuk design interior bernuansa lama, kuno tetapi lux eksklusif serta terkesan mewah dan glamour bangsawan tua yg trendy. Bagai Old Master (Seniman Senior) Pujangga sastra yang kaya tetapi hidup sederhana. Alamat galeri utama jalan padi raya 1A Semarang dan karya galeri kedua jalan pemuda 52 Jepara, Central Java. http://www.old-amsterdam-antiques.co.id
ReplyDeletemenarik sekali,, terimakasih atas informasinya.. sangat bermanfaat dan menambah wawasan tentunya.. thanks for sharing . nice post
ReplyDeleteST3 Telkom