Oleh: Bentar Saputro
Berawal dari perjalanan panjang yang penuh
dengan perjuangan dan usaha yang sungguh-sungguh. Setelah melewati dalam kurun
waktu satu bulan penuh menjalani kewajiban untuk menahan haus dan lapar bahkan
menahan diri dari segala hawa nafsu yang buruk. Berikut serangkaian
agenda-agenda yang menunjang semakin meningkatnya kualitas keimanan seseorang
dalam bulan yang penuh hikmah dan ampunan. Setelah kesemuanya itu sudah dilalui
dan bahkan dikerjakan dengan kesungguhan untuk kembali melahirkan sesuatu yang
baru dalam diri manusia, tibalah manusia masuk ke dalam hari ‘kemenangan’. Ini
merupakan bentuk hadiah dari Tuhan kepada manusia, setelah melalui perjalanan
yang luar biasa yakni Hari Raya Idul
Fitri. Semua menyambutnya dengan gegap gempita untuk merayakannya dengan
penuh rasa syukur dan mendapatkan kemenangan di hari yang Fitri.
Dalam tradisi manusia Indonesia khususnya,
ada yang menarik dalam rangka menyambut hari kemenangan. Mulai dari gema takbir
yang terdengar dihampir setiap sudut lingkungan mereka yang merayakannya hingga
hidangan-hidangan yang disajikan di hampir setiap rumah.
Hampir di setiap hari raya Idul Fitri
kebanyakan orang mengucapkan permohonan maaf kepada sesama manusia yang
lainnya. Ucapan tersebut dapat disampaikan secara langsung maupun disampaikan
dengan memanfaatkan bebagai media yang ada saat ini. Saya juga sering
mendapatkan hal yang sama, yakni ucapan hari raya idul fitri dan permohonan maaf.
Baik secara langsung maupun dari berbagai media sosial, seperti sms, BBM,
WA, Facebook dan lain sebagainya.
Dari semua ucapan-ucapan lebaran dan ucapan
permohonan maaf, saya mencoba untuk memahami dan memaknai ucapan tersebut. Berikut
penggalan kata (ucapan lebaran dan permohonan maaf) yang pernah saya kirim : “Salam.
Selamat Idul Fitri. Mohon maaf lahir batin.” Berbagai balasanpun masuk setelah beberapa
saat saya kirimkan. Ada yang membalas dengan kata-kata yang panjang, puitis,
ke-arab-araban, berpantun dan masih banyak lagi. Entah itu hanya sekedar copy-paste atau justru langsung mem-forward sms dari sumber lain.
Bukan soal puitis, ke-arab-araban, atau forward. Saya sering mendapati kata-kata
bahwa ketika saya mengucapkan kata maaf, hampir kebanyakan orang yang saya
jumpai langsung menjawabnya dengan ucapan ‘ya, sama-sama’. Semuanya hampir
mengatakannya seperti itu. Ini yang membuat saya berpikir lebih dalam, bahwa
ketika meminta maaf yang saya sampaikan ke orang lain justru yang saya dapatkan
hanyalah semacam pasrah-memasrahkan kesalahan dan permohonan maaf kembali dari
lawan bicara saya. Bukannya memaafkan terlebih dahulu atas kesalahan saya yang sudah
diperbuat (tentunya masih dalam konteks ucapan meminta maaf), tetapi kebanyakan
dari mereka justru berbalik meminta maaf atas kesalahan mereka juga.
Sederhananya begini, bahwa ketika meminta
maaf semestinya ada jawaban atas permintaan tersebut. Hanya ada dua kemungkinan
jawaban yang dimaksud, yaitu DIMAAFKAN
atau BELUM DIMAAFKAN.
Jawaban pertama ‘dimaafkan’, jawaban ini
mengindikasikan bahwa dari komunikasi dua arah ini sudah memaafkan kepada orang
pertama yang kemudian dilanjut oleh orang kedua untuk mengucapkan kata meminta
maaf juga kepada orang pertama. Entah ikhlas atau tidak dalam hal memaafkan
tadi, hanya antara mereka dan Tuhan yang tahu ke-ridha’an-nya. Sedangkan jawaban
kedua ‘belum dimaafkan’, jawaban ini berarti ada salah satu pihak yang belum
bisa menerima permintaan maaf (namun biasanya ini jarang terjadi di saat-saat lebaran).
Kalaupun belum memaafkan, semestinya pula ada perjanjian atau
kesepakatan-kesepakatan tertentu yang harus dibuat untuk dapat menebus atas kesalahan-kesalahan
yang diperbuat.
Nah, dari semua ucapan permintaan/permohonan
maa f yang dibalut dalam suasana lebaran dapat saya simpulkan sebagai berikut:
-
Setiap ucapan selamat lebaran
semestinya juga dibalas dengan mengucapkan kembali selamat lebaran yang
dimaksud, sekalipun sudah sama-sama tahu.
Contoh sederhana
: “selamat lebaran ya”. Dibalas dengan,
“selamat lebaran juga ya”.
-
Setiap ucapan
permintaan/permohonan maaf yang disampaikan, semestinya harus dijawab (ya,
dimaafkan atau belum dimaafkan).
Contoh sederhana
: “mohon maaf lahir-batin ya”. Dibalas
dengan, “ya, dimaafkan dan mari kita
saling memaafkan. Mohon maaf lahir-batin juga ya” kemudian pastikan anda
mendapatkan jawaban yang sama kira-kira begitu.
Lagi-lagi ini hanyalah opini sederhana saya
saja, terserah Anda mau melakukan apa yang saya sarankan tadi atau justru
mengabaikannya. Akhirnya, saya pribadi mengucapkan mohon maaf yang
sedalam-dalamnya kepada Anda. Semoga bermanfaat.
Refleksi diri setelah Ramadhan, 6 Agustus 2014.
No comments:
Write comments