Oleh: Bentar Saputro.
Antara “Spite” dan “Envy”
Manusia saat ini sering sekali diperdaya oleh
manisnya duniawi yang menggiring mereka justru menuhankan dunia daripada Tuhan
mereka yang Esa. Segala sesuatunya yang nampak dihadapan manusia dianggap kurang
apabila tidak mendatangkan kepuasan tertentu. Sudah memiliki ‘satu’ masih
merasa kurang dan ingin segera mengejar yang ke ‘dua’, dan sudah memiliki ‘dua’
masih saja ingin mencari yang lebih dari itu. Begitu seterusnya, merasa kuang,
kurang dan kurang. Ini mengindikasikan
adanya ketidakpuasan manusia terhadap sesuatu yang diinginkannya, bukan sesuatu yang dibutuhkannya. Semua itu cenderung kepada hal yang bersifat
meterialistik dan keduniawian, bukan cenderung mencari keberkahan dan rasa
syukur atas apa yang sudah dihadiahkan Tuhan kepada mereka. Berangkat dari rasa
ketidakpuasan manusia, bukan tidak mungkin akan menempuh berbagai cara untuk
mendapatkan sesuatu yang mereka inginkan. Bahkan dengan menghalalkan segala
cara, bukan menggunakan cara yang halal. Ini menandakan adanya kedengkian dan rasa iri dengan apa yang sudah didapat oleh seseorang. Lalu mengapa
kita tidak bercermin terlebih
dahulu, lihat siapa diri kita? Sudah pantaskah kita seperti yang lain? Sudah
layakkah kita mendapatkan apa yang sudah didapat oleh orang lain? Dalam kasus
ini, kata INTROSPEKSI DIRI mungkin
itu adalah kata yang tepat.
Apabila kita menilik filsafat Sunan Kalijaga,
“Lir-ilir”, tentunya manusia
sangatlah paham dan bahkan hafal bait demi bait tembang “Lir-ilir” tersebut. Betul memang, kita sudah “nglilir” kita sudah terbangun. Jasad kita, badaniyah kita memang
sudah terbangun akan tetapi hati kita belum, akal pikiran kita belum, mental
kita belum, naluri kita sama sekali belum terbangun. Semua yang dituju hanyalah
materi, posisi, kedudukan, harga diri di hapadan sesama manusia dan segalanya
yang bersifat sekularisme. Tanpa
mereka menyadari kesemuanya itu akan membawa mereka kepada sifat hedonism semata. Pada lirik “Lir-ilir” terdapat lirik yang berbunyi,
“cah angon penekno blimbing kuwi,
lunyu-lunyu peneknen” mengingatkan kita di sana secara implisit terdapat
pesan moral yang sangat menyentuh sendi-sendi kehidupan kita di dunia.
Setelah manusia terbangun dan letih dengan
sendirinya atas apa yang sudah dilaluinya di alam kehidupan yang kejam ini,
pada akhirnya mereka menemukan titik jenuh yang luar biasa. Tidak tahu harus
bersandar ke mana, tidak tahu harus meratapi semua ini kepada siapa. Analogi
buah “belimbing” pada lirik “penekno belimbing kuwi” menuntut kita
untuk berpikir kritis apa yang seharusnya kita kerjakan untuk menuju kepada
siapa sesungguhnya kita bersandar. Buah belimbing memiliki 5 (lima) ruas atau
bagian di setiap sisinya. Mengingatkan kita untuk kembali kepada
kewajiban-kewajiban manusia terhadap Tuhan. Meskipun itu sulit dikerjakan dan
penuh dengan tantangan-tantangan yang mengahadang dan tidak jarang menemui
jalan yang terjal untuk dapat memenuhi semuanya itu. Karena memang terlalu
banyak godaan dan rayuan duniawi yang membuat kita terlena bahkan hanyut ke
dalamnya untuk meninggalkan “5 sisi” dari filsafat buah belimbing tadi. Itu
mengapa dilanjut dengan lirik yang berbunyi “lunyu-lunyu peneknen”. Meskipun itu sulit, tetapi sebagai manusia
yang berakal bahkan berpikir dengan baik harus tetap dihadapi setiap tantangan
dan rintangan yang menghadang. Apakah kita semua sudah “nglampahi” – melakukan dan mengerjakan 5 sisi tersebut dengan baik?
Tidak hanya sekedar mengerjakan dan melakukan, namun apakah sudah
disinkronisasikan dengan perilaku kita, karakter kita, sifat kita bahkan hati kita?
Sudahkah kita menjaga hubungan interaksi sosial yang baik, membangun hubungan
vertikal dan horisontal yang baik? Mari kita sama-sama renungi semua itu.
Apabila semua itu belum, berarti kita yang belum memperlakukan Tuhan dengan
adil.
Kita
butuh Tuhan
Ini menandakan bahwa sesungguhnya kita memang
benar-benar membutuhkan kasih sayang Tuhan, bukan Tuhan yang butuh kita. Tidak.
Jika selama ini Tuhan senantiasa memberikan apa yang kita butuhkan, sudahkan
kita bersyukur dan patuh terhadapNya? Dengan kita mengingat dan menjalankan
perintah-perintah Tuhan, setidaknya kita sudah berusaha untuk berlaku adil
terhadap Tuhan. Memang masih jauh dari yang namanya sempurna dan tidak akan
mencapai puncak kesempurnaan, tetapi setidaknya kita berupaya untuk berlaku
adil dan membentuk behavior yang
tangguh, berakhlak mulia dengan
dilandasi cinta kasih terhadap sesama dan juga cinta kasih kepada Tuhan
tentunya.
Tuhan Maha Adil tinggal kita sebagai manusia
apakah sudah berbuat adil kepada Tuhan dengan mentaati perintahNya serta
menjauhi laranganNya? Sudah semestinya kita menjaga hubungan secara vertikal
kepada Tuhan dan secara horizontal kepada sesama manusia. Dengan begitu
harmonisasi kehidupan ini dapat tercipta dengan selaras. Tidak perlu harus terlihat
manis di luar, yang utama adalah hati kita dapat dijaga dalam keadaan BAIK.
Cukuplah terlihat “luwes” di mata semua
yang memandangnya.
Semarang, 4 Juli 2014 (Kantor BPMP, ± pukul
10.00 – 13.30 WIB)
Disela-sela
menunggu waktu Jum’atan hingga kembali ke kantor. J
No comments:
Write comments